Selasa, 29 November 2011

BATIK WARISAN YANG PATUT DIPERTAHANKAN

BATIK: WARISAN LELUHUR YANG PATUT DIPERTAHANKAN

Tulisan ini dimuat di Koran Radar Banjarmasin, 5 November 2008, halaman 3.
Batik adalah warisan leluhur yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam sejarahnya, batik dipakai di lingkungan kerajaan, terutama raja dan keluarganya, misalnya di Solo dan Yogyakarta. Lambat laun, pemakaian batik menjadi tidak hanya terbatas pada keluarga kerajaan, tapi merambah pada masyarakat luas.
Batik Tiga Negeri (Foto dari www.image.google.co.id)
Batik Tiga Negeri (Foto dari www.images.google.co.id)
Perkembangan batik ditandai dengan berkembangnya industri batik di beberapa tempat di Indonesia. Paling tidak, dalam catatan suatu harian ternama tingkat nasional, ada 10 propinsi di Indonesia yang memiliki tradisi batik dan mengembangkan industrinya. Beberapa di antaranya Jawa Tengah (Pekalongan, Solo, Rembang), Yogyakarta, Jawa Timur (Sidoarjo, Madura), Jawa Barat (Cirebon) dan Jambi.
Namun demikian, meski dikenal sebagai bagian tradisi Nusantara, perkembangan batik kerap mengalami pasang surut. Ada beberapa hal yang menyebabkan. Misalnya, pemakaian batik terbatas pada kegiatan tertentu saja, seperti perkawinan atau acara-acara resmi. Di luar dari kegiatan tersebut, batik tidak lazim dipakai. Kemudian, karena bersifat tradisional, batik kerap diidentikkan bagi mereka yang berumur (sepuh). Batik menjadi tidak populer di kalangan kaum muda.
Akibatnya, nasib batik mulai memprihatinkan. Dikatakan ada, tapi sifatnya terbatas; Dikatakan tidak, beberapa tempat masih mempertahankan dan bahkan masyarakatnya menggantungkan hidup pada batik. Batikpun seolah mengalami masa ”menara gading”, ada dan dijunjung tinggi, tapi tidak begitu populer.
Dulu Dianggap Terbatas (Foto dari www.images.google.co.id
Tradisi Turun Temurun (Foto www.images.google.co.id)
Nasib batik dirasa makin memprihatinkan saat beberapa negara mengembangkan batik. Cina misalnya, secara luar biasa mengembangkan industri batik dan bahkan mengekspor batiknya ke Indonesia. Malaysia mengklaim batik sebagai ikon negaranya –yang kemudian mendapat protes dari beberapa pihak di Indonesia–.
Keprihatinan terhadap nasib batik Indonesia membuka mata beberapa pihak untuk menghidupkan kembali kecintaan terhadap batik. Beberapa cara telah dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Seorang desainer terkenal Indonesia misalnya, dengan berani melakukan terobosan fashion saat dia membuat baju-baju batik dengan model unik dan mutakhir. Di tangannya, batik menjadi sangat layak pakai untuk berbagai kesempatan dan menjadi tidak ketinggalan zaman. Anak-anak muda, terutama kaum perempuan, menjadi tidak segan memakai batik. Batik tidak lagi menjadi pakaian wajib pesta atau undangan resmi, tapi telah menerobos batas waktu, usia dan kesempatan.
Cara lain untuk kembali mempopulerkan batik dilakukan oleh beberapa instansi dan pemerintah baik tingkat nasional maupun daerah. Suatu departemen yang mengurusi isu kehutanan misalnya, mewajibkan karyawan mengenakan batik pada tiap Jumat. Sementara itu, para pegawai negeri di suatu propinsi di Sumatera wajib berpakaian batik pada hari Kamis.
Beberapa tindakan kreatif-konstruktif tersebut mendorong perkembangan pesat batik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Batik menjadi populer, digemari makin banyak kalangan. Fenomena ini menjadi menguntungkan tidak hanya bagi upaya perkembangan batik Nusantara, tapi juga bagi para pengusaha dan pedagang batik, termasuk mereka yang tergolong mikro, kecil dan menengah. Seiring dengan bangkitnya kehidupan batik Indonesia, keuntunganpun semakin mereka rasakan.
Dalam menghadapi krisis global yang melanda dunia belakangan ini, salah satu yang dianggap bisa mempertahankan kondisi perekonomian suatu negera adalah kemampuan bertahan kelompok penyangga ekonomi, yang tidak menggantungkan diri pada produk import. Kemampuan bertahan para pengusaha mikro, kecil dan menengah Indonesia, yang telah terbukti selama krisis ekonomi 10 tahun lalu, diharap mampu berfungsi lagi sebagai penyangga ekonomi Indonesia menghadapi dampak krisis global.
Inipun terjadi pada para pengusaha mikro, kecil dan menengah yang memfokuskan diri pada batik. Para pengusaha batik, terutama batik tulis yang memakai bahan pewarna alami dari alam sekitar, tidak perlu terlalu pusing pusing memikirkan dampak krisik global terhadap usaha batiknya. Kalaupun khawatir dengan turunnya kemampuan daya beli masyarakat, ada yang mengakalinya dengan memperbanyak produk batik cap, yang berharga lebih murah daripada batik tulis murni.
Warisan Budaya yang Patut Dipertahankan (foto www.images.google.co.id
Salah Satu Motif Batik Pekalongan: Warisan Budaya yang Patut Dipertahankan (Foto www.images.google.co.id)
Kreatifitas lainpun terus dilakukan untuk membuat para pelanggan tetap betah dan bersedia meluangkan sedikit uang untuk batik. Padu padan batik dengan bahan jins atau polos yang bisa membuat batik tetap terlihat lebih cantik dan berharga terjangkau, juga kerap dilakukan.
Seorang teman pengusaha batik di pulau kecil di ujung timur Jawa, yaitu Madura, menceritakan betapa secara turun temurun keluarganya telah bergantung pada batik dan menghidupi banyak orang. Terganggu krisis? Dia menjawab lugas, “Buktinya usaha saya tetap jalan dan berkembang, kualitas bisa bertahan dan paling tidak, 60 karyawan masih terus bekerja membantu saya.”
Menimbang beberapa catatan di atas, tidak salah kiranya jika kita menempatkan batik sebagai warisan berharga leluhur yang patut terus dilestarikan dan dicintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar